Rabu, 28 September 2016

ORGANISASI SEBAGAI SISTEM TERBUKA

A.               Organisasi sebagai Sistem Terbuka
Ketika mempelajari perilaku organisasi seringkali kita menemukan istilah organisasi sebagai open system. Organisasi disini dipahami sebagai sekumpulan orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Organisasi bukankah entitas yang berdiri sendiri tetapi pasti ada lingkungan yang menjadi wahana organisasi tersebut hidup tumbuh dan berkembang. Karena organisasi membutuhkan lingkungan maka bisa dikatakan organisasi tersebut merupakan sistem yang terbuka. Untuk menghasilkan barang dan jasa organisasi mengambil sumber daya dari lingkungan eksternal dan mengkonversi atau mengubahnya menjadi barang dan jasa yang siap untuk diolah kembali atau dinikmati oleh end user yang dikirim kembali ke lingkungan tersebut, di mana mereka dibeli oleh pelanggan. Siklus tersebut terus menerus berlangsung sampai organisasi tersebut bubar.
Organisasi sebagai open system ini bisa diibaratkan seperti organisme yang hidup dalam media tertentu. Agar dapat bertahan hidup organisme ini perlu terus menerus berinteraksi dengan lingkungannya, mengambil makanan dari lingkungan, kemudian pengkonversikannya menjadi energi dan kemudian energi serta limbahnya dilepaskan kembali ke lingkungan.
Organisasi dilingkupi oleh lingkungan dimana organisasi mengambil sumberdaya yang berupa bahan mentah, uang dan kapital, serta SDM. Proses mengambil sumberdaya ini seringkali disebut sebagai tahapan mendapatkan input. Selanjutnya sumberdaya tersebut diubah menggunakan mesin, komputer, dan dikendalikan oleh keterampilan manusia untuk menambahkan nilai dari sumberdaya tersebut. Setelah tahapan konversi, maka kemudian masuk dalam tahapan output dimana sumberdaya tadi kemudian berubah bentuk menjadi barang dan jasa yang siap dilepaskan di lingkungan kembali melalui proses penjualan. Proses penjualan pada hakikatnya merupakan proses untuk mendapatkan input kembali untuk diproses menjadi barang dan jasa. Semua itu bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup dan pertumbuhan organisasi.
Konsep input-output sering disebut sebagai model linear, yaitu teori yang menjelaskan bagaimana sistem dapat dijelaskan dalam konteks dunia nyata. Suatu teori yang beranjak dari konsep umum ke khusus yang tampak logis, rasional dan teratur berupaya untuk mencari jawaban terhadap upaya menghubungkan nilai input dan nilai output sehingga menghasilkan efisiensi biaya.
Organisasi sebagai sistem yang menciptakan dan menjaga lingkungan didalamnya memuat interaksi manusia yang kompleks (baik antar individu maupun dalam kelompok). Organisasi dengan open system dapat digambarkan seperti fenomena nyala api lilin, sinar yang dipancarkannya akan memengaruhi kondisi lingkungan di sekelilingnya. Dalam sistem yang terbuka, organisasi dengan sistem yang lebih luas orang akan berinteraksi aktif dengan sistem eksternal yang terdapat pada lingkungannya. Misalnya organisasi sekolah, harus dipandang sebagai hubungan antara perilaku manusia dan konteksnya. Perilaku organisasi difokuskan pada sekolah sebagai suatu sistem.
Organisasi (sistem) berada dalam lingkungan (suprasistem) yang didalamnya memuat pula sub sistem (perangkat administrasi dalam organisasi). Batasan antar sub sistem dibuat dengan garis putus-putus yang berarti antar bagian dapat saling menembus (permeable). Antara subsistem yang terlibat dapat saling mempengaruhi lewat hubungan yang interaktif dan adaptif antar komponen. Masalah yang terjadi pada satu bagian dapat menjadi ancaman terhadap fungsi keseluruhan. (Owens; 1987).
Organisasi sebagai open system adalah organisasi yang berinteraksi dengan lingkungan dengan kata lain organisasi yang menerima sesuatu dari suatu sistem dan melepaskannya kepada sistem yang lain. Organisasi merupakan suatu open system karena selalu berinteraksi dengan lingkungannya.                                                                                   Open system adalah “sistem yang berhubungan dan terpengaruh dengan lingkungan luarnya”. Sistem ini menerima masukan dan menghasilkan keluaran untuk lingkungan luar atau subsistem yang lainnya, sehingga harus memiliki sistem pengendalian yang baik. Lingkungan dapat dilakukan dengan dua arah yaitu organisasi dipenuhi perubahan dan sebaliknya lingkungan dipengaruhi oleh organisai. Adapun lingkungan organisasi terdiri atas lingkungan mikro dan makro.
Open system akan mencapai suatu tingkat dinamika tertentu atau keseimbangan dinamis. Di sisi lain sistem ini masih mempunyai kemampuan yang berkelanjutan untuk melangsungkan kerja dan melakukan transformasi ke pihak lain. Sistem ini mempunyai proses putaran yang kontinu yang menyebabkan daya hidupnya berkelangsungan. Organisasi dipandang sebagai hal yang dinamis yang senantiasa berubah. Masukan yang berasal dari lingkungan, diterima oleh sesuatu organisasi. Kemudian organisasi tersebut memproses sebagai salah satu kegiatannya untuk mencapai tujuan organisasi. Hasil pemrosesan ini dikirim dan diterima oleh lingkungan baik berupa barang-barang atau jasa pelayanan. Hasil ini dirasakan oleh masyarakat sebagai unsur lingkungan dari organisasi tersebut. Lingkungan akan memberikan umpan balik kepada organisasi yang digunakan sebagai bahan masukan baru untuk diolah dan diproses didalam organisasi. Dengan cara demikian organisasi mencapai tingkat keseimbangan yang dinamis dengan lingkungannya. Karena ia dirangsang untuk mendapatkan potensi baru guna melanjutkan kelangsungan hidupnya.
Open system menekankan hubungan dan ketergantungan antara unsur-unsur oranisasi yang bersifat sosial dan teknologi. Organisasi dipertimbangkan sebagai serangkaian variabel yang saling berhubungan, dimana perubahan satu variabel akan menyebabkan berubahnya variabel lainnya. Sistem organisasi terbuka tidak hanya terbuka bagi lingkungannya saja, akan tetapi terbuka pula bagi dirinya sendiri. Open system menyesuaikan pada lingkungannya dengan cara melakukan perubahan-perubahan susunan dan proses dari  komponen-komponen di dalam organisasi itu sendiri.
Karakteristik dari open system ini menurut Burns dan Stalker (1994) adalah sebagi berikut:
1.                Tugas-tugas yang tidak rutin berlangsung dalam kondisi-kondisi yang tidak stabil.
2.                Pengetahuan spesialisasi menyebar pada tugas-tugas pada umumnya. Berbeda dengan sistem tertutup bahwa pemahaman dari spesialisasi tugas itu pengetahuan spesialisasinya dimiliki oleh masing-masing orang yang barang kali hanya bisa dipergunakam jika menguntungkan orang tersebut untuk mengatasi  berbagai tugas organisasi.
3.                Hasil (atau apa yang bisa dikerjakan) diutamakan
4.                Konflik di dalam organisasi diselesaikan dengan interaksi diantara teman sejawat.
5.                Pencairan pertanggungjawaban ditekankan. Dalam hal ini tugas-tugas yang bersifat formal dikesampingkan untuk melibatkan semua anggota didalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi.
6.                Rasa pertanggungjawaban yang loyalitas seseorang adalah pada organisasi secara keseluruhan, tidak hanya pada subunit organisasi yang telah dibebankan kepada seseorang pejabat.
7.                Organisasi dipandang sebagai struktur network yang merembes (fluiding network structure) (dalam hal ini organisasi dilihat sebagai amoeba).
8.                Pengetahuan atau informasi dapat berada dimana saja di dalam organisasi (misalnya, setiap orang mengetahui sesuatu yang bergayutan dengan organisasinya. Tidak semua orang termasuk kepala atau pimpinan dapat mengetahui semua hal).
9.                Interaksi di antara orang-orang di dalam organisasi cenderung bergerak secara horizontal, selancar geraknya interaksi vertikal.
10.            Gaya interaksi yang diarahkan untuk mencapai tujuan lebih berifat pemberian saran disbandingkan dengan pemberian instruksi, dan disifati dengan mitos setia kawan dengan mengesampingkan hubungan antara atasan-bawahan.
11.            Hasil tugas dan pelaksanaan kerja yang baik diutamakan, bukannya menekankan pada loyalitas dan kepatuhan pada seseorang atasan.
12.            Prestise ditentukan dari pihak luar (externalized) misalnya kedudukan atau status seseorang di dalam organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan professional dan reputasi seseorang.

B.               Keterbukaan Sistem dalam Organisasi 
Pada sebuah organisasi bersistem terbuka perlu menjalin hubungan dengan banyak pihak baik didalam maupun diluar organisasi. Humas adalah fungsi yang diperlukan oleh sebuah organisasi yang menganut sistem terbuka untuk mengelola hubungan atau interaksi serta komunikasi antara organisasi dengan pihak-pihak luar. Grunig dan Hunt (1984) menyebut humas yang posisinya berada di perbatasan antara manajemen pusat dengan bagian-bagian lain yang ada didalam organisasi serta antara organisasi dan lingkungannya.
Dengan pandangan seperti inilah kehadiran humas dalam sebuah organisasi menjadi sangat diperlukan karena humaslah yang bertugas sebagai penghubung antara organisasi dengan lingkungannya dan demikian pula sebaliknya. Namun begitu perlu untuk ditekankan disini bahwa hubungan antara organisasi dengan lingkungannya tidaklah berada dalam kerangka hubungan yang tidak seimbang. 
Organisasi harus sejak awal menyadari bahwa hubungan antara dirinya dengan lingkungan adalah hubungan yang saling menguntungkan, seimbang, serta berazaskan komunikasi dua arah yang saling timbal balik. Karena hanya dalam kerangka hubungan semacam inilah organisasi dapat bertahan dan eksis untuk terus merealisasikan tujuan-tujuannya. Untuk dapat merealisasikan sebuah hubungan timbal balik dua arah yang saling menguntungkan, ternyata keterbukaan sebuah sistem saja dipandang kurang mencukupi. Atau dengan kata lain, walaupun organisasi tersebut telah bersistem terbuka, organisasi masih memerlukan faktor lain untuk memantapkan posisinya dalam sebuah sistem. Organisasi masih memerlukan worldview yang sesuai. 
Kearney (1984) seorang antropolog menyatakan bahwa worldview adalah, “a set of images or assumptions about the world”. Sementara Kuhn (1970) berpendapat bahwa worldview adalah, “a paradigm that stands for the entire constellation of beliefs, values,techniques, and so on shared by the member of a given community”. (dikutip dalam Grunig dan White, 1992). Dari pendapat tersebut bisa kita pahami bahwa worldview adalah semacam paradigma yang dianut oleh suatu masyarakat. Sebuah paradigma yang bisa menjelaskan bagaimana sekelompok masyarakat memandang keberadaan mereka dan orang-orang lain yang ada di dunia. Sebuah organisasi pun bisa kita anggap sebagai sebuah masyarakat dalam lingkup kecil dan karenanya pasti juga memiliki seperangkat worldview tersendiri tentang bagaimana mereka memandang keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat yang lebih luas. 
Menurut Grunig (1989) ada dua jenis worldview yang bisa dianut oleh sebuah organisasi. Ia menyebutnya sebagai Symmetrical Worldview dan Asymmetrical Worldview atau bisa kita terjemahkan sebagai Paradigma Simetris dan Paradigma Asimetris. Grunig lebih lanjut menyatakan bahwa untuk sebuah organisasi agar bisa bertahan dalam lingkungannya dengan baik dan mampu menjalin hubungan yang positif dengan lingkungn tersebut sebuah organisasi memerlukan Paradigma yang Simetris (dikutip dalam Grunig dan White, 1992).
Seperangkat Paradigma yang simetris adalah:
1.    Interdependence
Organisasi menyadari bahwa ia tidak bisa mengisolasi diri dari lingkungan sekitar. Walaupun sebagai sebuah sistem organisasi memiliki pembatas, namun pembatas itu bisa ditembus oleh lingkungan.
2.    Moving Equilibrium
Organisasi sebagai sebuah sistem bisa saja berupaya untuk mencapai kondisi equilibrium yaitu kondisi yang stabil, namun ia harus menyadari bahwa kondisi stabil tersebut tidak akan selamanya bertahan. Dengan kata lain, organisasi harus selalu siap dengan kondisi equilibrium yang selalu bergerak ini. Equilibrium selalu bergerak karena lingkungan di sekitar sistem selalu berubah. Jika sebuahsistem ingin terus eksis, ia harus bisa beradaptasi dengan perubahan itu.
3.    Equity Organisasi
Beroperasi atas dasar persamaan hak antar manusia. Karyawan harus diperlakukan dengan manusiawi serta dipenuhi hak-haknya, termasuk hak untuk berbeda pendapat atau memberi kritikan serta masukan kepada organisasi. Demikian juga dalam berinteraksi dengan komponen yang lain dalam komunitas.
4.    Autonomy
Memberikan otonomi yang cukup luas kepada karyawan. Pemberian otonomi tidak perlu dikhawatirkan akan menjadi lepas kendali karena banyak penelitian membuktikan otonomi yang dimiliki seseorang justru akan memperbaiki kinerja orang tersebut. Dengan demikian pemberian otonomi pada karyawan justru akan memberikan dampak yang positif pada organisasi.
5.    Innovation
Organisasi bersikap fleksibel atau luwes dalam menghadapi adanya gagasan-gagasan baru dan tidak terpaku pada konservatisme atau tradisi yang ketinggalan jaman. Anggota organisasi diberikan kesempatan dan ruang untuk berinovasi, mengembangkan kreativitasnya atau berimprovisasi.
6.    Decentralization of Management
Ada pendelegasian kewenangan yang memadai. Para menajer berperan lebih sebagai koordinator dari pada diktator. Pendelegasian kewenangan yang cukup terbukti akan mendorong tumbuhnya iklim komunikasi yang sehat, kinerja yang baik, dan kepuasan kerja yang cukup tinggi.
7.    Responsibility
Organisasi dan para anggotanya harus menyadari bahwa kehadiran mereka dalam suatu lingkungan memiliki dampak bagi sistem lain yang ada di lingkungan tersebut. Karenanya, organisasi harus berupaya memaksimalkan dampak yang positif dan meminimalkan dampak negatif mereka terhadap lingkungan.
8.    Conflict Resolution
Organisasi bersikap terbuka terhadap adanya konflik. Konflik adalah sesuatu yang biasa dalam interaksi antar manusia, sehingga tidak perlu ditutupi atau dianggap tabu. Konflik yang terjadi harus diselesaikan dengan cara negosiasi, komunikasi, dan kompromi dan bukannya diselesaikan dengan cara pemaksaan, manipulasi, koersi, atau kekerasan. 
Sedangkan seperangkat Paradigma yang Asimetris adalah:
1.    Internal Orientation (berorientasikan ke dalam)
 Para anggota organisasi tersebut hanya bisa melihat kepada dirinya sendiri namun tidak mampu membayangkan bagaimana orang lain memandang organisasi tersebut. Dengan kata lain organisasi tersebut tidak pernah berusaha mencari tahu bagaimana pendapat orang lain tentang dirinya. Ia sudah cukup puas dengan pendapatnya sendiri.
2.    Closed System Informasi
Hanya bergerak keluar dari organisasi, namun tidak ada informasi yang masuk kedalam organisasi. Artinya, organisasi tersebut tidak pernah berusaha mencari feedback dari luar.
3.    Efficiency Efisiensi
Adalah segala-galanya bagi organisasi, bahkan jika perlu dengan mengorbankan inovasi.



4.    Elitism
Menganggap pimpinan organisasi sebagai yang paling tahu dan yang paling bijak. Ide-ide atau pendapat dari mereka yang tidak memiliki posisi tinggi atau penting dalam organisasi dianggap sebagai pendapat yang tidak berguna dan karenanya tidak perlu diindahkan.
5.    Conservatism
Organisasi enggan untuk berubah. Perubahan dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan karenanya harus dihindari. Upaya-upaya yang ada untuk membawa organisasi ke arah perubahan dianggap sebagai tindakan yang subversif dan karenanya patut mendapat hukuman.
6.    Tradition
Tradisi turun temurun dalam organisasi tersebut dianggap sebagai pakem yang tidak bisa diubah-ubah lagi, bahkan bila tradisi tersebut tidak sesuai lagi dengan perubahan jaman. Organisasi menganggap bahwa bergantung pada tradisi akan membawa stabilitas dan rasa nyaman.
7.    Central Authority
Kekuasaan harus terkonsentrasi pada segelintir orang yang ada di pucuk pimpinan perusahaan. Kewenangan tidak didelegasikan (dari Grunig dan White, 1992). 
  
C.               Kedudukan Humas dalam Sistem Organisasi 
Masih teringat dalam ingatan penulis, beberapa tahun yang lalu ketika sebuah perusahaan besar di Indonesia memutuskan untuk  ditanya apa alasannya membentuk dan mengangkat pejabat humas. Sang Direktur menjawab bahwa alasannya membentuk bagian humas karena merasa kewalahan menghadapi wartawan. Gambaran ini menunjukkan, bahwasannya keberadaan humas dalam organisasi akan sangat tergantung dari kemauan para pemimpinnya. Begitupula sebuah perusahaan yang memiliki bagian humas tetapi tidak mampu mendeskripsikan kerja/tugas humas secara tegas, maka para petugas humas-nya berkelakar bahwa tugas humas adalah semua tugas yang belum dikerjakan oleh bagian lain. Tetapi ada juga bagian humas yang sungguh sangat elegan dengan deskripsi dan wewenang yang jelas. Gambaran ini menunjukkan bahwa keberadaan humas di sebuah organisasi juga tergantung dari bagaimana apresiasi dan persepsi para pengambil keputusan. 
Keberadaan humas dalam organisasi pada dasarnya bisa dilihat secara fungsional maupun struktural. Secara fungsional artinya humas tidak harus ada sebagai state of being atau sebagai sebuah bagian tersendiri dengan segala konsekuensi sebuah bagian yang memiliki fasilitas ruang, pimpinan dan staf tersendiri, melainkan secara fungsional tanpa adanya bagian humas, organisasi bisa mengangkat seorang petugas humas untuk menjalankan fungsi-fungsi kehumasan. Sedangkan secara struktural artinya humas telah terlembagakan ke dalam bagian tersendiri.
Djanaid (2000) mengklasifikasikan menjadi dua, yakni sebagai state of being dan method of communication. Sebagai method of communication, humas dipahami sebagai sebuah aktivitas berhubungan dengan public melalui pendekatan komunikasi yang dilakukan oleh siapa saja yang berada dalam organisasi tersebut. Sementara sebagai state of being, humas telah terlembagakan kedalam bagian-bagian dalam struktur organisasi. 
Humas berkedudukan sebagai sebuah fungsi yang mengantarai manajemen pusat dengan bagian-bagian lain yang ada dalam organisasi, humas memiliki posisi yang cukup dekat dengan manajemen pusat. Keberadaan humas pada sebuah posisi yang dekat dengan manajemen pusat tersebut menggambarkan betapa posisi humas dianggap cukup penting dalam sebuah organisasi. Kedekatan posisi humas dengan manajemen pusat tersebut memang disengaja, karena humas sebagai fungsi pencari dan pemberi informasi diharapkan memiliki akses langsung kepada manajemen pusat untuk mempercepat serta memudahkan tugas-tugas humas sebagai pemberi masukan serta pengambil keputusan khususnya yang melibatkan masalah-masalah komunikasi yang dihadapi organisasi. 

D.               Kelemahan Organisasi Terbuka
Organisasi dengan open system merupakan satu system yang sudah sangat baik karena menerima masukan tertentu, seperti bahan baku, informasi, tenaga kerja, dan peralatan. Di sisi lain organisasi juga menghasilkan produk yang dilepas, disalurkan dan diterima oleh sistem lain. Proses ini berlangsung terus menerus tanpa ada hentinya.
 Namun kelemahan pada organiasi open system yang perlu diwaspadai adalah jika organisasi gagal memperoleh masukan yang diperlukan dari sistem lain dan keluarannya tidak diserap atau ditolak sistem lain maka, organisasi lama-kelamaan akan hilang eksistensinya. Hal ini yang kemudian membuat suatu organisasi atau industri bubar atau bangkrut.
DAFTAR PUSTAKA
Thoha, Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group


EmoticonEmoticon